Phone :

081399210431

Email :

humas@unpak.ac.id

Artikel

Polemik Legal Diskursus Perkawinan Beda Agama

Polemik Legal Diskursus Perkawinan Beda Agama

Ditulis oleh R Muhammad Mihradi dan Dinalara D Butar-Butar, Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Pakuan

HUMAS UNPAK - Indonesia merupakan negara majemuk dan memiliki keberagaman yang sangat tinggi. Tidak mudah menjaganya mengingat penguatan saling toleransi dan pemahaman akan perbedaan menjadi sebuah kebutuhan.

Salah satu diskursus yang menarik dari sisi hukum adalah soal perkawinan beda agama. Ada silang tafsir mengenai hal tersebut.

Disertai regulasi yang belum kokoh melembagakan pranata perbedaan dimaksud. Tulisan ini akan memotret dan memberikan taburan pemikiran untuk diskursus lanjutan.

Hukum Di Konteks Relasi Kuasa

Mulyana W Kusumah pernah menulis di buku Beberapa Perkembangan dan Masalah Dalam Sosiologi Hukum (1981) menyatakan bahwa hukum pada dasarnya adalah kristalisasi hubungan-hubungan kekuasaan.

Selain itu, hukum dipandang sebagai suprastruktur yang ditegakkan di atas landasan hubungan-hubungan kekuasaan.

Konteks di atas tercermin pula dalam pengaturan mengenai perkawinan beda agama. Terdapat penolakan dan penerimaan dari berbagai kelompok yang menghendaki dan menolak akan legalisasi perkawinan beda agama.

Tulisan Sri Wahyuni (Politik Hukum Beda Agama, 2014) mengidentifikasi bagaimana soal perdebatan perkawinan beda agama telah mengemuka, bahkan ketika hendak dibentuk Undang-Undang tentang Perkawinan (yang akhirnya menjadi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Sri Wahyuni mencatat, saat proses legislasi undang-undang perkawinan dimaksud telah terjadi perdebatan di luar gedung DPR disertai aksi demonstrasi. Hal ini menarik karena perdebatan dilakukan di masa Orde Baru sangat kuat.

Menurut Denny Indrayana (Amandemen UUD 1945:Antara Mitos dan Pembongkaran, 2007), mengutip Liddle, di masa Orde Baru (Orba), dominasi kekuasaan pemerintahan sangat bersentral pada Presiden.

Dalam situasi demikian, menurut Mahfud, sukar melahirkan pemerintahan yang demokratis.Hal ini yang menjadi latar konsensus munculnya Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Pada akhirnya UU Perkawinan disahkan. Meski sebenarnya, rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tersebut tidak bebas dari kritik.

Seperti, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) saat itu, melihat ketentuan pasal tersebut menyimpang dari spirit Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama di mana rumusan pasal dimaksud telah memaksakan warga negara untuk melaksanakan kewajiban keagamaan sebagaimana hukum perkawinan.

Praktik Perkawinan Beda Agama

Saat itu, Kelompok Islam menolak atas RUU Perkawinan ketika hendak diakomodasi perkawinan beda agama.

Tokoh Muslim HM Rasjidi menolak keras jika perkawinan beda agama diadopsi Demikian pula tokoh Anwar Harjono, misalnya, mengutip fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa perkawinan beda agama haram hukumnya, karena mafsadah-nya (kemudaratan) lebih banyak daripada manfaatnya.

Dalam praktiknya, banyak modus menyiasati perkawinan beda agama, seperti model menikah di luar negeri.

Demikian pula ada model misal pria beragama hindu dan wanita beragama Islam maka perkawinan dilakukan ditempat kediaman calon istri dan dilakukan sesuai keinginan keluarga istri yakni secara Islam namun kemudian nikah lagi menurut tata cara hindu sesuai keinginan keluarga pria dan perkawinan pertama secara Islam batal karena agama Hindu melarang perkawinan di luar agama Hindu. Ini jelas penyelundupan hukum.

Meski demikian, ketentuan hukum positif yang ada cenderung menolak perkawinan beda agama. Hal senada nampak pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 68/PUU-XII/2014 dimana Mahkamah Konstitusi menolak untuk mengabulkan permohonan pengujian atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya mengenai Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut sehingga legalisasi terhadap perkawinan beda agama tidak dapat diakomodasi secara hukum.

Secara umum, semua agama melarang perkawinan beda agama. Hukum Islam jelas menentang perkawinan beda agama, bahkan apabila dipaksakan maka lazim dikenal dalam masyarakat sebagai “zina seumur hidup.”

Agama Kristen/Protestan pada dasarnya melarang pengikutnya untuk melangsungkan perkawinan beda agama, karena dalam doktrin Kristen, tujuan adanya perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan antara suami, istri, dan anak-anak dalam lingkup rumah tangga yang kekal dan abadi.

Hukum Katolik melarang pernikahan beda agama kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat tertentu.

Hukum Budha tidak mengatur perkawinan beda agama dan mengembalikan kepada adat masing-masing daerah, sementara agama Hindu melarang keras pernikahan beda agama.

Kontroversi Regulasi

Terdapat kontroversi regulasi khususnya sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Eksistensi Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan telah membuka peluang penetapan perkawinan beda agama yang jelas bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang secara implisit mengatur bahwa perkawinan beda agama adalah tidak sah di mata agama dan negara.

Pada Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan berikut penjelasannya mengandung makna soal kewajiban pejabat pencatatan sipil untuk mencatatkan perkawinan termasuk perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dalam hal ini perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama.

Hal di atas semakin kompleks mengingat terbit Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan yang menegaskan “larangan bagi pengadilan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan”.

Demikian pula Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 terkait Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang diajukan Damian Agata Yuvens dkk, yang pada intinya, diktum putusannya menolak permohonan pemohon.

Dalam pertimbangan hakim MK, secara substansinya, menekankan bahwa perkawinan tidak boleh dilihat dari aspek formalnya semata. Tetapi juga harus dari aspek spiritual dan sosial.

Agama menetapkan keabsahan perkawinan sedangkan undang-undang menetapkan keabsahan administrasi yang dilakukan oleh negara.

Meski demikian, penulis berpendapat, kiranya perlu dipertimbangkan bagi perkawinan yang keduanya di luar agama Islam.

Perlu dibuka peluang di UU Perkawinan bahwa bagi perkawinan beda agama, antar agama di luar Islam, andaipun hendak diizinkan harus diatur secara ketat, seperti ada izin dari gereja misalnya, sehingga keabsahan atas dasar hukum agama menjadi penentu bagi proses administrasi negara dalam konteks pencatatan perkawinan.

Ini untuk merawat pluralisme khususnya bagi pasangan yang keduanya di luar agama Islam. Dengan demikian, integrasi hukum sebagai kebijakan yang menghargai kemajemukan menjadi hal yang terbuka diakomodasi.

sumber: jangkauindonesia